Selasa, 16 Juni 2015

Etika Dalam Bermasyarakat



ETIKA DALAM MASYARAKAT

Etika dalam masyarakat sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap manusia hidup secara berkelompok. Etika dalam masyarakat adalah suatu aturan atau tata krama atau pola perilaku seseorang dalam bersosialisasi dengan orang lain disekitar lingkungan luar. Seseorang yang beretika mampu mengontrol sikap dan tutur katanya terhadap orang lain. Etika sendiri mengandung nilai – nilai kebaikan dalam pergaulan manusia yang merupakan makhluk sosial yang berinteraksi antara satu individu dengan individu lainnya. Karena etika dalam masyarakat sudah ada sejak dulu, seseorang sudah dibiasakan berperilaku baik dengan orang lain disekitarnya.

Selain itu penerapan etika dalam masyarakat sudah diterapkan semenjak seseorang dilahirkan. Contohnya yaitu mencium tangan kedua orang tua atau orang yang lebih tua, menyapa orang yang lebih tua dengan sebutan yang sopan, berbicara dengan sopan santu terhadap oranglain.

Jika tidak adanya etika dalam masyarakat bisa saja terjadi peperangan, pertengkaran dan permusuhan yang terjadi disekitar lingkungan. Seseorang cenderung diusingkan dari lingkungannya sendiri oleh karena sering dicemooh.

Didalam bermasyarakat juga masyarakat harus tau tentang hukum, antara lain hukum pidana dan hukum perdata yang ada di dalam sekitar kita. Sehingga kita juga harus mempelajari hukum yang ada di indonesia. Seperti dibawah ini yang membahas tentang hukum pidana dan hukum perdata.

HUKUM PIDANA

Pengertian Hukum Pidana
Keseluruhan aturan hukum yang memuat peraturan – peraturan yang mengandung keharusan, yang tidak boleh dilakukan dan/atau larangan-larangan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa penjatuhan pidana bagi barangsiapa yang melanggar atau melaksanakan larangan atau ketentuan hukum dimaksud. Sedangkan sanksi yang akan diterima bagi yang melanggarnya sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Bersumber dari KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) maka sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.

Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
1.      Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2.      Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3.      Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
1.      UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
2.      UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3.      UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.

Asas-Asas Hukum Pidana

1.      Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
2.      Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
3.      Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
4.      Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).
5.      Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4 KUHP).

Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam :
1.    Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).
2.    Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.
3.    Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.
4.    pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.

Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:
Hukuman-Hukuman Pokok
1.      Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2.      Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
3.      Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran.Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda.Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.
4.      Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.
5.      Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
1.      Pencabutan hak-hak tertentu.
2.      Penyitaan barang-barang tertentu.
3.      Pengumuman keputusan hakim.
Pembagian Hukum Pidana
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus Punale), yang dapat dibagi ke dalam:
1.      Hukum Pidana Materiil
2.      Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
1.      Hukum Pidana Militer.
2.      Hukum Pidana Pajak (Fiskal).
Hukum Pidana Objektif (lus Punale)
Hukum Pidana Objektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran mana- diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
·         Hukum Pidana Objektif dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil:
·         Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum seseorang.
 Hukum Pidana Materiil
Singkatnya Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Jadi Hukuman Pidana Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan adanya:
(a) Hukum Pidana Umum.
(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak (seorang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan tetapi diatur tersendiri dalam Undang-undang (Pidana Pajak)).
Hubungan antara Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana (merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan tentang bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan karena memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana, maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui disingkat dahulu RIB (Herziene Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981.

Hukum Pidana Subjektif (lus Puniendi)
Hukum Pidana Subjektif (Ius Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana Objektif itu membatasi hak Negara untuk menghukum. Hukum Pidana Subjektif ini baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara, yang berarti, bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum Pidana Umum
Hukum Pidana Umum ialah Hukum Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
Hukum Pidana Khusus
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu.
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer., berlaku khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak (wajib pajak) 
Tindak Pidana

   A.    Pengertian Tindak Pidana (Delik )
Delik adalah perbuatan yang melanggar UU , dan oleh karena itu bertentangan dengan UU yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat di pertanggung jawabkan atau perbuatan yang dapat dibebankan oleh hukum pidana.

   B.    Unsur – Unsur
     Unsur - unsur tindak pidana (delik) :
           -     harus ada suatu kelakuan (gedraging)
           -     harus sesuai dengan uraian UU ( wettelijke omshrijving)
           -     kelakuan hokum adalah kelakuan tanpa hak
           -     kelakuan itu diancam dengan hukuman


   ·         Unsur Objektif
       adalah mengenai perbuatan , akibat dan keadaan perbuatan :
             -     Dalam arti positif, perbuatan manusia yang disengaja
             -     Dalam arti negative , kelalaian
             -     Akibat , efek yang timbul dari sebuah perbuatan
                     -     Keadaan , sutu hal yang menyebabkan seseorang di hokum yang berkaitan dengan waktu.
   
             Unsur Subjektif
      Adalah mengenai keadaan dapat di pertanggung jawabkan dan schold (kesalahan) dalam arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).

Kasus Pidana Umum
Contoh Kasus Pidana Umum :
-          Kekerasan akibat perkelahian atau penganiayaan
-          Pelanggaran (senjata tajam, narkotika, lalu lintas)
-          Pencurian
-          Korupsi
-          Pengerusakan
-          Kekerasan dalam rumah tangga
-          Pelecehan seksual dan pemerkosaan


HUKUM PERDATA

Pengertian Hukum Perdata
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli, secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek, hubungan antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan dan tunduk karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati oleh para subyek hukum dimaksud. Dalam kaitan dengan sanksi bagi yang melanggar, maka pada umumnya sanksi dalam suatu perikatan adalah berupa ganti kerugian. Permintaan atau tuntutan ganti kerugian ini wajib dibuktikan disertai alat bukti yang dalam menunjukkan bahwa benar telah terjadi kerugian akibat pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu kesepakatan.
Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Misal: A merupakan anggota kelompok simpan pinjam PPK. Pada waktu meminjam dana PPK si A terikat kontrak dengan program PPK melalui UPK. Hubungan hukum antara A dan UPK dikenai aturan hukum perdata. Bila dikemudian hari A tidak mau mengembalikan uang yang dipinjamnya, tindakan ini akan dikenai aturan hukum perdata. Sedang hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara seorang anggota masyarakat (sebagi warga Negara) dengan Negara (sebagi penguasa tata tertib masyarakat).
Misal: Ketua kelompok UEP Bunga Mawar Tidak menyerahkan setoran kelompok kepada UPK, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindak pidana ini masuk dalam klausul delik pidana penggelapan.
Bagaimana penerapan ke dua hukum tersebut? Pelanggaran terhadap aturan hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan (disebut: penggugat). Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk dalam delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian oleh keluarga, dll. Dalam hal terjadi tindakan diluar hukum baik pidana maupun perdata, penangannya diatur dalam Hukum Acara pidana dan Hukum Acara perdata.

Sistematika  Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasikan di Indonesia pada tahun 1848 pada intinya mengatur hubungan hukum antara orang perorangan, baik mengenai kecakapan seseorang dalam lapangan hukum; mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan; mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perikatan dan hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian dan lewat waktu atau kadaluarsa.
Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain tidaklah terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu atau paling tidak mendapatkan pengaruh yang sama, yaitu dari hukum Romawi ( Code Civil ).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW yang ada dan berlaku di Indonesia  mempunyai sistematika yang terdiri dari  4 buku ( Buku-Titel-Bab-         ( Pasal-Ayat), yaitu :
            Buku I             Van Personen  ( mengenai orang )
            Buku II           Van Zaken ( mengenai Benda )
            Buku III          Van Verbinsissen ( mengenai Perikatan )
            Buku IV          Van Bevijs En Verjaring ( mengenai bukti dan kadaluarsa )
            Mengenai pembagian Hukum Perdata tersebut sudah barang tentu menimbulkan berbagaim komentar dan analisis dari para ahli ilmu Hukum, Kansil    ( 1993 : 119 ) merasakan, bahwa pembagian sistematika sebagaimana diatur dalam KUH Perdata tersebut kurang memuaskan, karena :
1.   Seharusnya KUH Perdata hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Privat Materiil. Dalam KUH Perdata terdapat tiga aturan mengenai Hukum Perdata Formil, yaitu :
a.   Ketentuan mengenai Hukum Pembuktian
b.   Ketentuan mengenai lewat waktu extinctief
c.   Ketentuan mengenai lewat waktu acquisitief
2.   KUH Perdata berasal dari BW yang berasaskan liberalisme dan individualisme, sehingga perlu dilakukan berbagai perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia
3.   Hukum waris bukan hanya bagian dari hukum benda, tetapi juga merupakan bagian dari hukum kekeluargaan
4.   Hukum Perdata lebih tepat dibagi menjadi 5 Buku, yaitu :
a.   Buku I tentang                       : Ketentuan Umum
b.   Buku II tentang                     : Perikatan
c.   Buku III tentang                    : Kebendaan
d.  Buku IV tentang                     : Kekeluargaan
e.   Buku V tentang                      : Waris

Sistematika Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.      Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
2.      Hukum Keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
3.      Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
4.      Hukum Waris(erfrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

Kasus Perdata
Contoh kasus perdata :
-          Sengketa Tanah
-          Hutang Piutang
-          Sengketa Jual Beli
-          Perceraian

Perbedaan Hukum Perdata dan Hukum Pidana

Perbedaan isi
1.      Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara oranng yang satu dengan yanng lan dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan
2.      Hukum pidana menngatur hubungan antara seseorang anggota masyarakat (warga negara) dengan negara yanng menguasai tata tertib masyarakat itu.
Perbedaan pelaksanaanya
1.      Pelanggaran terhadap hukum perdata diambil diambil tindakan oleh pengadilan setelah adanya pengaduan dari pihak ynag merasa dirugikan. Pihak yang mengadu tersebut menjadi penggugat dalam perkara tersebut.
2.      Pelanggaran terhadap hukum pidana pada umumnya segera diambil tindakan oleh pengadilan tanpa perlu ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah ada pelanggaran terhadap norma hukum pidana, maka alat-alat perlengkapan negara seperti polisi, jaksa dan hakim segera bertindak.
3.      Pihak yang menjadi korban cukuplah melporkan kepada pihak yang berwajib (polisi) tentang tindak pidana yang terjadi. Dan yang menjadi penggugat adalah Jaksa (Penuntut Umum)
4.      Terhadap beberapa tindak pidana tertentu tidak akan diamabil tindakan oleh pihak yang berwajib jika tidak diajukan pengaduan, misalnya perzinahan,pencurian, perkosaan dsb.
Perbedaan penafsiran
1.      Hukum perdata memperbolehkan untuk melakukan berbagai interpretasi terhadap Undang-Undang Hukum Perdata.
2.      Hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam Undang-Undang Hukum Pidana itu sendiri. (penafsiran authentuik)

Sumber :