Jumat, 01 Mei 2015

UUD No 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi



Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa :
  
           A. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;

Pernyataan Armandio I :

Menurut undang-undang No. 36 Tahun 1999 mengenai Telekomunikasi pada pasal 38 yang berisikan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”. Pada undang-undang ini lebih terfokus kepada gangguan yang bersifat infrastruktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi content informasi. Dengan munculnya undang-undang ini membuat terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi.

Jadi UU no.36 tersebut dapat mengatur penggunaan teknologi informasi, karena dalam undang-undang tersebut berarah kepada tujuan telekomunikasi dan otomatis dapat sekaligus mengatur penggunaan informasi tersebut sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Dalam undang-undang ini juga tertera tentang penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga telekomunikasi dapat diarahkan dengan baik karena adanya penyelenggaraan telekomunikasi tersebut. Penyidikan dan sangsi administrasi dan ketentuan pidana pun tertera dala undang-undang ini, sehingga penggunaan telekomunikasi lebih terarah dan tidak menyimpang dari undang-undang yang telah ada. Sehingga menghasilkan teknologi informasi yang baik dalam masyarakat.




Contoh Kasus :

Contoh Kasus Cyber Crime E-Commerce di IndonesiaDalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex specialist di luar KUH Pidana. Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37). Selanjutnya pada bulan September dan Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah (Agus Raharjo 2002:38). Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.

Menurut riset yang dilakukan perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002). Cyber Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152). Satu lagi kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,- (Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002). Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Disamping itu banyaknya kejadian tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban. Upaya penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus diprioritaskan. Indonesia harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan teknologi ini dengan sebuah payung hukum yang mempunyai suatu kepastian hukum. Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk meletakkan dasar legal dan kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam pergaulan masyarakat yang memanfaatkan kecanggihan dibidang teknologi informasi. Adanya hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk melaksanakan tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna internet. Pengguna internet dapat menggunakan internet dengan bebas ketika tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”. Namun, adanya peraturan atau hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan tindak kejahatan dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia dapat berjalan dengan baik.

Kasus-kasus cybercrime dalam bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat dilaporkan oleh korban, sehingga sangat dibutuhkan sekali kesigapan sistem peradilan kita untuk menghadapi semakin cepatnya perkembangan kejahatan dewasa ini khususnya dalam dunia cyber. Untuk mencapai suatu kepastian hukum, terutama dibidang penanggulangan kejahatan e-commerce, maka dibutuhkan suatu undang-undang atau peraturan khusus mengenai cybercrime sehingga mengatur dengan jelas bagaimana dari mulai proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan persidangan. Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan “mempersenjatai” diri dengan kemamampuan penyesuaian dalam globalisasi perkembangan teknologi ini sehingga secanggih apapun kejahatan yang dilakukan, maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk menanggulanginya dan juga tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu undang-undang ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat tercapainya suatu kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Reff :