Pasal 38
Perbuatan
yang dapat menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dapat
berupa :
A. tindakan
fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan telekomunikasi sehingga
jaringan tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
Pernyataan Armandio I :
Menurut undang-undang No. 36 Tahun 1999 mengenai Telekomunikasi pada pasal
38 yang berisikan “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi”.
Pada undang-undang ini lebih terfokus kepada gangguan yang bersifat
infrastruktur dan proses transmisi data, bukan mengenai isi content informasi.
Dengan munculnya undang-undang ini membuat terjadinya perubahan dalam dunia
telekomunikasi.
Jadi UU no.36 tersebut dapat mengatur penggunaan teknologi informasi,
karena dalam undang-undang tersebut berarah kepada tujuan telekomunikasi dan
otomatis dapat sekaligus mengatur penggunaan informasi tersebut sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam undang-undang ini juga tertera tentang penyelenggaraan
telekomunikasi, sehingga telekomunikasi dapat diarahkan dengan baik karena
adanya penyelenggaraan telekomunikasi tersebut. Penyidikan dan sangsi
administrasi dan ketentuan pidana pun tertera dala undang-undang ini, sehingga
penggunaan telekomunikasi lebih terarah dan tidak menyimpang dari undang-undang
yang telah ada. Sehingga menghasilkan teknologi informasi yang baik dalam
masyarakat.
Contoh Kasus :
Contoh Kasus Cyber Crime
E-Commerce di IndonesiaDalam beberapa dekade terakhir ini, banyak sekali
perbuatan-perbuatan pemalsuan (forgery) terhadap surat-surat dan
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan bisnis. Perbuatan-perbuatan pemalsuan
surat itu telah merusak iklim bisnis di Indonesia. Dalam KUH Pidana memang
telah terdapat Bab khusus yaitu Bab XII yang mengkriminalisasi
perbuatan-perbuatan pemalsuan surat, tetapi ketentuan-ketentuan tersebut
sifatnya masih sangat umum. Pada saat ini surat-surat dan dokumen-dokumen yang
dipalsukan itu dapat berupa electronic document yang dikirimkan atau yang
disimpan di electronic files badan-badan atau institusi-institusi pemerintah,
perusahaan, atau perorangan. Seyogyanya Indonesia memiliki ketentuan-ketentuan
pidana khusus yang berkenaan dengan pemalsuan surat atau dokumen dengan
membeda-bedakan jenis surat atau dokumen pemalsuan, yang merupakan lex
specialist di luar KUH Pidana. Di Indonesia pernah terjadi kasus cybercrime
yang berkaitan dengan kejahatan bisnis, tahun 2000 beberapa situs atau web
Indonesia diacak-acak oleh cracker yang menamakan dirinya Fabianclone dan
naisenodni. Situs tersebut adalah antara lain milik BCA, Bursa Efek Jakarta dan
Indosatnet (Agus Raharjo, 2002.37). Selanjutnya pada bulan September dan
Oktober 2000, seorang craker dengan julukan fabianclone berhasil menjebol web
milik Bank Bali. Bank ini memberikan layanan internet banking pada nasabahnya.
Kerugian yang ditimbulkan sangat besar dan mengakibatkan terputusnya layanan nasabah
(Agus Raharjo 2002:38). Kejahatan lainnya yang dikategorikan sebagai cybercrime
dalam kejahatan bisnis adalah Cyber Fraud, yaitu kejahatan yang dilakukan
dengan melakukan penipuan lewat internet, salah satu diantaranya adalah dengan
melakukan kejahatan terlebih dahulu yaitu mencuri nomor kartu kredit orang lain
dengan meng-hack atau membobol situs pada internet.
Menurut riset yang dilakukan
perusahaan Security Clear Commerce yang berbasis di Texas, menyatakan Indonesia
berada di urutan kedua setelah Ukraina (Shintia Dian Arwida. 2002). Cyber
Squalling, yang dapat diartikan sebagai mendapatkan, memperjualbelikan, atau
menggunakan suatu nama domain dengan itikad tidak baik atau jelek. Di Indonesia
kasus ini pernah terjadi antara PT. Mustika Ratu dan Tjandra, pihak yang
mendaftarkan nama domain tersebut (Iman Sjahputra, 2002:151-152). Satu lagi
kasus yang berkaitan dengan cybercrime di Indonesia, kasus tersebut diputus di
Pengadilan Negeri Sleman dengan Terdakwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok
Obok. Dalam kasus tersebut, terdakwa didakwa melakukan Cybercrime. Dalam amar
putusannya Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Petrus Pangkur alias Bonny Diobok
Obok telah membobol kartu kredit milik warga Amerika Serikat, hasil
kejahatannya digunakan untuk membeli barang-barang seperti helm dan sarung
tangan merk AGV. Total harga barang yang dibelinya mencapai Rp. 4.000.000,-
(Pikiran Rakyat, 31 Agustus 2002). Namun, beberapa contoh kasus yang berkaitan
dengan cybercrime dalam kejahatan bisnis jarang yang sampai ke meja hijau, hal
ini dikarenakan masih terjadi perdebatan tentang regulasi yang berkaitan dengan
kejahatan tersebut. Terlebih mengenai UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Internet dan
Transaksi Elektronika yang sampai dengan hari ini walaupun telah disahkan pada
tanggal 21 April 2008 belum dikeluarkan Peraturan Pemerintah untuk sebagai
penjelasan dan pelengkap terhadap pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
Disamping itu banyaknya kejadian
tersebut tidak dilaporkan oleh masyarakat kepada pihak kepolisian sehingga
cybercrime yang terjadi hanya ibarat angin lalu, dan diderita oleh sang korban.
Upaya penanggulangan kejahatan e-commerce sekarang ini memang harus
diprioritaskan. Indonesia harus mengantisipasi lebih berkembangnya kejahatan
teknologi ini dengan sebuah payung hukum yang mempunyai suatu kepastian hukum.
Urgensi cyberlaw bagi Indonesia diharuskan untuk meletakkan dasar legal dan
kultur bagi masyarakat indonesia untuk masuk dan menjadi pelaku dalam pergaulan
masyarakat yang memanfaatkan kecanggihan dibidang teknologi informasi. Adanya
hukum siber (cyberlaw) akan membantu pelaku bisnis dan auditor untuk
melaksanakan tugasnya. Cyberlaw memberikan rambu-rambu bagi para pengguna
internet. Pengguna internet dapat menggunakan internet dengan bebas ketika
tidak ada peraturan yang mengikat dan “memaksa”. Namun, adanya peraturan atau
hukum yang jelas akan membatasi pengguna agar tidak melakukan tindak kejahatan
dan kecurangan dengan menggunakan internet. Bagi auditor, selain menggunakan
standar baku dalam mengaudit sistem informasi, hukum yang jelas dan tegas dapat
meminimalisasi adanya tindak kejahatan dan kecurangan sehingga memberikan
kemudahan bagi auditor untuk melacak tindak kejahatan tersebut. Adanya jaminan
keamanan yang diberikan akan menumbuhkan kepercayaan di mata masyarakat
pengguna sehingga diharapkan pelaksanaan e-commerce khususnya di Indonesia
dapat berjalan dengan baik.
Kasus-kasus cybercrime dalam
bidang e-commerce sebenarnya banyak sekali terjadi, namun ditengah keterbatasan
teknologi dan sumber daya manusia aparat hukum dibidang penyelidikan dan
penyidikan, banyak kasus-kasus yang tidak terselesaikan bahkan tidak sempat
dilaporkan oleh korban, sehingga sangat dibutuhkan sekali kesigapan sistem
peradilan kita untuk menghadapi semakin cepatnya perkembangan kejahatan dewasa
ini khususnya dalam dunia cyber. Untuk mencapai suatu kepastian hukum, terutama
dibidang penanggulangan kejahatan e-commerce, maka dibutuhkan suatu
undang-undang atau peraturan khusus mengenai cybercrime sehingga mengatur
dengan jelas bagaimana dari mulai proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan
persidangan. Diharapkan aparat penegak hukum di Indonesia lebih memahami dan
“mempersenjatai” diri dengan kemamampuan penyesuaian dalam globalisasi
perkembangan teknologi ini sehingga secanggih apapun kejahatan yang dilakukan,
maka aparat penegak hukum akan dengan mudah untuk menanggulanginya dan juga
tidak akan terjadi perbedaan persepsi mengenai penerapan suatu undang-undang
ataupun peraturan yang telah ada, dan dapat tercapainya suatu kepastian hukum
di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
Reff :