ETIKA DALAM MASYARAKAT
Etika dalam masyarakat sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap manusia hidup secara
berkelompok. Etika dalam masyarakat adalah suatu aturan atau tata krama atau
pola perilaku seseorang dalam bersosialisasi dengan orang lain disekitar
lingkungan luar. Seseorang yang beretika mampu mengontrol sikap dan
tutur katanya terhadap orang lain. Etika sendiri mengandung nilai – nilai
kebaikan dalam pergaulan manusia yang merupakan makhluk sosial yang
berinteraksi antara satu individu dengan individu lainnya. Karena etika dalam
masyarakat sudah ada sejak dulu, seseorang sudah dibiasakan berperilaku baik
dengan orang lain disekitarnya.
Selain itu penerapan etika dalam masyarakat sudah
diterapkan semenjak seseorang dilahirkan. Contohnya yaitu mencium tangan kedua
orang tua atau orang yang lebih tua, menyapa orang yang lebih tua dengan
sebutan yang sopan, berbicara dengan sopan santu terhadap oranglain.
Jika tidak adanya etika dalam masyarakat bisa saja
terjadi peperangan, pertengkaran dan permusuhan yang terjadi disekitar
lingkungan. Seseorang cenderung diusingkan dari lingkungannya sendiri oleh
karena sering dicemooh.
Didalam bermasyarakat juga masyarakat harus tau
tentang hukum, antara lain hukum pidana dan hukum perdata yang ada di dalam
sekitar kita. Sehingga kita juga harus mempelajari hukum yang ada di indonesia.
Seperti dibawah ini yang membahas tentang hukum pidana dan hukum perdata.
HUKUM PIDANA
Pengertian Hukum Pidana
Keseluruhan aturan hukum yang memuat peraturan – peraturan yang
mengandung keharusan, yang tidak boleh dilakukan dan/atau larangan-larangan
dengan disertai ancaman atau sanksi berupa penjatuhan pidana bagi barangsiapa
yang melanggar atau melaksanakan larangan atau ketentuan hukum dimaksud.
Sedangkan sanksi yang akan diterima bagi yang melanggarnya sudah ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan dimaksud. Bersumber dari KUHP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana) maka sanksi pidana pada pokoknya terdiri atas
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.
Sumber-Sumber Hukum Pidana
Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum
tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum
memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
antara lain :
1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang
yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti
Terorisme. dll
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai
Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.
Asas-Asas Hukum Pidana
1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan
dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan
Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat
(1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan
Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan
sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk
menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus
dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
3. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum
pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah
yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk
pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan
dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
4. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan
hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di
mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).
5. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan
hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan
kepentingan negara (pasal 4 KUHP).
Macam-Macam Pembagian Delik
Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke
dalam :
1. Delik yang dilakukan dengan sengaja,
misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain (Pasal 338 KUHP) dan delik yang
disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya, karena kesalahannya telah
menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.(Pasal 359 KUHP).
2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh
Undang-undang, misalnya, melakukan pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378
KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut
Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya komplotan yang merencanakan makar.
3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan
yang sangat tercela, terlepas dari ada atau tidaknya larangan dalam
Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai delik hukum.
4. pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan
perbuatan yang dianggap salah satu justru karena adanya larangan dalam
Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-undang.
Macam-Macam Pidana
Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat
dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:
Hukuman-Hukuman Pokok
1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini
terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda,
tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk
beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri
dibedakan ke dalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.Hukuman
penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib
tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang
ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.
3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya
tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan
atau pelanggaran.Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau
hukuman denda.Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada
hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya
kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana
saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat
dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan
terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan
pada hukuman penjara tidak demikian.
4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh
memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda
adalah 6 Bulan.
5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan
berdasarkan alasan-alasan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan
kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP.
Hukuman Tambahan Hukuman tambahan
tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada
hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:
1. Pencabutan hak-hak tertentu.
2. Penyitaan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.
Pembagian Hukum Pidana
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai
berikut:
1) Hukum Pidana Objektif (lus
Punale), yang dapat dibagi ke dalam:
1.
Hukum Pidana Materiil
2.
Hukum Pidana Formil
(Hukum Acara Pidana).
2) Hukum Pidana
Subjektif (ius Puniendi).
3) Hukum Pidana Umum.
4) Hukum Pidana
Khusus, yang dapat dibagi lagi ke dalam:
1.
Hukum Pidana Militer.
2.
Hukum Pidana Pajak
(Fiskal).
Hukum Pidana Objektif
(lus Punale)
Hukum Pidana Objektif (Ius
Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan,
terhadap pelanggaran mana- diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
·
Hukum Pidana Objektif
dibagi dalam Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil:
·
Hukum Pidana Materiil
ialah peraturan-peraturan yang menegaskan:
(1) Perbuatan-perbuatan apa yang
dapat dihukum.
(2) Siapa yang dapat dihukum.
(3) Dengan hukuman apa menghukum
seseorang.
Hukum Pidana Materiil
Singkatnya Hukuman Pidana
Materiil mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat
bila seseorang dapat dihukum.
Jadi Hukuman Pidana Materiil
mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila
seseorang dapat dihukum.
Hukum Pidana Materiil membedakan
adanya:
(a) Hukum Pidana Umum.
(b) Hukum Pidana Khusus, misalnya Hukum Pidana Pajak
(seorang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor, hukumannya tidak
terdapat dalam Hukum Pidana Umum, akan tetapi diatur tersendiri dalam
Undang-undang (Pidana Pajak)).
Hubungan antara Hukum
Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana dengan Hukum Pidana Materiil
Hukum Pidana Formil ialah hukum yang
mengatur cara-cara menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana
(merupakan pelaksanaan dari Hukum Pidana Materiil).
Dapat juga dikatakan bahwa Hukum
Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana memuat peraturan-peraturan tentang
bagaimana memelihara atau mempertahankan Hukum Pidana Materiil, dan karena
memuat cara-cara untuk menghukum seseorang yang melanggar peraturan pidana,
maka hukum ini dinamakan juga Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana
terkumpul/diatur dalam Reglemen Indonesia yang dibarui disingkat dahulu RIB (Herziene
Inlandsche Reglement — HIR) sekarang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Tahun 1981.
Hukum Pidana
Subjektif (lus Puniendi)
Hukum Pidana Subjektif (Ius
Puniendi), ialah hak Negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan
Hukum Pidana Objektif.
Pada hakikatnya Hukum Pidana
Objektif itu membatasi hak Negara untuk menghukum. Hukum Pidana Subjektif ini
baru ada, setelah ada peraturan-peraturan dari Hukum Pidana Objektif terlebih
dahulu.
Dalam hubungan ini tersimpul
kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara, yang berarti, bahwa tiap orang
dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana
(perbuatan melanggar hukum = delik).
Hukum Pidana Umum
Hukum Pidana Umum ialah Hukum
Pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapa pun juga
di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan.
Hukum Pidana Khusus
Hukum Pidana Khusus ialah Hukum
Pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu.
Contoh:
a) Hukum Pidana Militer., berlaku
khusus untuk anggota militer dan mereka yang dipersamakan dengan militer.
b) Hukum Pidana Pajak, berlaku
khusus untuk perseroan dan mereka yang membayar pajak (wajib pajak)
Tindak Pidana
A. Pengertian
Tindak Pidana (Delik )
Delik adalah perbuatan yang melanggar UU , dan oleh
karena itu bertentangan dengan UU yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang
dapat di pertanggung jawabkan atau perbuatan yang dapat dibebankan oleh hukum
pidana.
B. Unsur – Unsur
Unsur
- unsur tindak pidana (delik) :
- harus
ada suatu kelakuan (gedraging)
- harus
sesuai dengan uraian UU ( wettelijke omshrijving)
- kelakuan
hokum adalah kelakuan tanpa hak
- kelakuan
itu diancam dengan hukuman
· Unsur Objektif
adalah mengenai perbuatan , akibat dan
keadaan perbuatan :
- Dalam
arti positif, perbuatan manusia yang disengaja
- Dalam
arti negative , kelalaian
- Akibat
, efek yang timbul dari sebuah perbuatan
- Keadaan
, sutu hal yang menyebabkan seseorang di hokum yang berkaitan dengan waktu.
Unsur
Subjektif
Adalah
mengenai keadaan dapat di pertanggung jawabkan dan schold (kesalahan) dalam
arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).
Kasus Pidana
Umum
Contoh Kasus
Pidana Umum :
- Kekerasan
akibat perkelahian atau penganiayaan
- Pelanggaran
(senjata tajam, narkotika, lalu lintas)
- Pencurian
- Korupsi
- Pengerusakan
- Kekerasan
dalam rumah tangga
- Pelecehan
seksual dan pemerkosaan
HUKUM PERDATA
Pengertian Hukum
Perdata
Pengertian Hukum Perdata, berdasarkan pendapat para ahli,
secara sederhana adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur
hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain, atau antara
subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain, dengan menitikberatkan
pada kepentingan perseorangan, dimana ketentuan dan peraturan dimaksud dalam
kpentingan untuk mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam
usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dalam praktek, hubungan
antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya ini, dilaksanakan dan tunduk
karena atau pada suatu kesepakatan atau perjanjian yang disepakati oleh para
subyek hukum dimaksud. Dalam kaitan dengan sanksi bagi yang melanggar, maka
pada umumnya sanksi dalam suatu perikatan adalah berupa ganti kerugian.
Permintaan atau tuntutan ganti kerugian ini wajib dibuktikan disertai alat
bukti yang dalam menunjukkan bahwa benar telah terjadi kerugian akibat
pelanggaran atau tidak dilaksanakannya suatu kesepakatan.
Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu
dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.
Misal: A merupakan anggota kelompok simpan pinjam PPK.
Pada waktu meminjam dana PPK si A terikat kontrak dengan program PPK melalui
UPK. Hubungan hukum antara A dan UPK dikenai aturan hukum perdata. Bila
dikemudian hari A tidak mau mengembalikan uang yang dipinjamnya, tindakan ini
akan dikenai aturan hukum perdata. Sedang hukum pidana adalah hukum yang
mengatur hubungan antara seorang anggota masyarakat (sebagi warga Negara)
dengan Negara (sebagi penguasa tata tertib masyarakat).
Misal: Ketua kelompok UEP Bunga Mawar Tidak menyerahkan
setoran kelompok kepada UPK, tetapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Tindak
pidana ini masuk dalam klausul delik pidana penggelapan.
Bagaimana penerapan ke dua hukum tersebut? Pelanggaran terhadap aturan
hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan
oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan (disebut: penggugat).
Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat
hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang
termasuk dalam delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga,
pencurian oleh keluarga, dll. Dalam hal terjadi tindakan diluar hukum baik
pidana maupun perdata, penangannya diatur dalam Hukum Acara pidana dan Hukum
Acara perdata.
Sistematika Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikodifikasikan
di Indonesia pada tahun 1848 pada intinya mengatur hubungan hukum antara orang
perorangan, baik mengenai kecakapan seseorang dalam lapangan hukum; mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan kebendaan; mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan perikatan dan hal-hal yang berhubungan dengan pembuktian dan lewat waktu
atau kadaluarsa.
Sistematika atau isi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang ada dan berlaku di Indonesia, ternyata bila dibandingkan dengan Kitab
Undang-Undang hukum Perdata yang ada dan berlaku di negara lain tidaklah
terlalu jauh berbeda. Hal ini dimungkinkan karena mengacu atau paling tidak
mendapatkan pengaruh yang sama, yaitu dari hukum Romawi ( Code Civil ).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau BW yang ada dan
berlaku di Indonesia mempunyai
sistematika yang terdiri dari 4 buku (
Buku-Titel-Bab- ( Pasal-Ayat),
yaitu :
Buku I Van Personen (
mengenai orang )
Buku II Van Zaken ( mengenai Benda )
Buku III Van Verbinsissen ( mengenai Perikatan )
Buku IV Van Bevijs En Verjaring ( mengenai bukti dan kadaluarsa )
Mengenai pembagian Hukum Perdata
tersebut sudah barang tentu menimbulkan berbagaim komentar dan analisis dari
para ahli ilmu Hukum, Kansil ( 1993 :
119 ) merasakan, bahwa pembagian sistematika sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata tersebut kurang memuaskan, karena :
1.
Seharusnya KUH Perdata hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai Hukum Privat
Materiil. Dalam KUH Perdata terdapat tiga aturan mengenai Hukum Perdata Formil,
yaitu :
a.
Ketentuan mengenai Hukum Pembuktian
b.
Ketentuan mengenai lewat waktu extinctief
c.
Ketentuan mengenai lewat waktu acquisitief
2.
KUH Perdata berasal dari BW yang berasaskan liberalisme dan individualisme,
sehingga perlu dilakukan berbagai perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi
dan kondisi masyarakat Indonesia
3.
Hukum waris bukan hanya bagian dari hukum benda, tetapi juga merupakan bagian
dari hukum kekeluargaan
4.
Hukum Perdata lebih tepat dibagi menjadi 5 Buku, yaitu :
a.
Buku I tentang :
Ketentuan Umum
b.
Buku II tentang :
Perikatan
c.
Buku III tentang : Kebendaan
d. Buku IV tentang :
Kekeluargaan
e.
Buku V tentang :
Waris
Sistematika Hukum Perdata menurut
ilmu pengetahuan dibagi dalam 4 bagian yaitu:
1.
Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum
yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban
(subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat
tinggal(domisili)dan sebagainya.
2.
Hukum Keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga /
kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan
anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
3.
Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum
yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti
perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
4.
Hukum Waris(erfrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum
yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang
meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Kasus
Perdata
Contoh kasus
perdata :
-
Sengketa Tanah
-
Hutang Piutang
-
Sengketa Jual Beli
-
Perceraian
Perbedaan Hukum Perdata dan Hukum Pidana
Perbedaan isi
1. Hukum perdata mengatur hubungan hukum antara oranng yang satu dengan yanng
lan dengan menitikberatkan kepentingan perseorangan
2. Hukum pidana menngatur hubungan antara seseorang anggota masyarakat (warga
negara) dengan negara yanng menguasai tata tertib masyarakat itu.
Perbedaan pelaksanaanya
1. Pelanggaran terhadap hukum perdata diambil diambil tindakan oleh pengadilan
setelah adanya pengaduan dari pihak ynag merasa dirugikan. Pihak yang mengadu
tersebut menjadi penggugat dalam perkara tersebut.
2. Pelanggaran terhadap hukum pidana pada umumnya segera diambil tindakan oleh
pengadilan tanpa perlu ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Setelah ada
pelanggaran terhadap norma hukum pidana, maka alat-alat perlengkapan negara
seperti polisi, jaksa dan hakim segera bertindak.
3. Pihak yang menjadi korban cukuplah melporkan kepada pihak yang berwajib
(polisi) tentang tindak pidana yang terjadi. Dan yang menjadi penggugat adalah
Jaksa (Penuntut Umum)
4. Terhadap beberapa tindak pidana tertentu tidak akan diamabil tindakan oleh
pihak yang berwajib jika tidak diajukan pengaduan, misalnya
perzinahan,pencurian, perkosaan dsb.
Perbedaan penafsiran
1. Hukum perdata memperbolehkan untuk melakukan berbagai interpretasi terhadap
Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Hukum pidana hanya boleh ditafsirkan menurut arti kata dalam Undang-Undang
Hukum Pidana itu sendiri. (penafsiran authentuik)
Sumber :