Rabu, 28 Desember 2011

Konflik Agama Yang Terjadi Di Indonesia


          Bicara tentang konflik agama,di Indonesia ini masih bnyak saja perdebatan dan saling mengejek antar agama,Anak-anak kecil pun sering mendiskrimanasi teman-teman mereka yang berbeda. Diskriminasipun dimulai sejak dini. Mulai dari yang paling hakiki pun masih saja ada diskriminasi. Entah sejak kapan diskriminasi tentang agama mulai dan sampai saat ini belum berakhir.

          Demi sebuah keyakinan agama, orang bersedia melakukan apa saja. Agama yang diyakini oleh seseorang memberikan motivasi, daya tahan hidup, dan bahkan orang bersedia mati, demi membela keyakinan agamanya. Membela agama yang diyakini itu sebuah keniscayaan. Membela dan menegakkannya itu sebuah kewajiban.

           Peristiwa yang terjadi di Cikeusik, Padeglang, yang mengakibatkan tiga anggota Ahmadiyah mati, harus dilihat akar masalahnya, yang menjadi sumber konflik. Ahmadiyah yang mengaku golongan Islam, tetapi prakteknya mempunyai Nabi Gulam Mirza Ahmad, dan Kitab Tadzkirah. Para pemuka Ahmadiyah terus mengajarkan ajaran mereka, yang dikalangan Islam, sudah dipandang sebuah penyimpangan yang sangat prinsip.

           Departemen Agama Republik Indonesia, melalui Litbangnya yang dipimpin Atho Mudhar telah mengumpulkan bukti-bukti, dan menegaskan penyimpangan Ahmadiyah.Ormas-ormas Islam telah pula memberikan informasi yang valid kepada pemerintah bahwa Ahmadiyah, sebuah gerakan yang menyimpang dari mainstream (arus utama) dalam Islam.Penyimpangannya sudah sangat prinsip, yang terkait dengan masalah aqidah (iman).

           Para pemimpin ormas Islam telah bertemu dengan seluruh aparat negeri ini. Sudah bertemu dengan Menteri Agama, Kepolisian, Kejaksaan, dan sejumlah pejabat lainnya. Menyampaikan pandangan dan pendapat mereka tentang gerakan Ahmadiyah. Semuanya yang disampaikan itu bukan rekaan dan mengada-ada, tetapi dengan bukti-bukti yang bersumber dari dokumen-dokumen Ahmadiyah sendiri. Bukan para pemuka Islam tidak melakukan tindakan secara persuasip, dan mengutamakan dialog. Tetapi, para pemimpin Ahmadiyah, tetap bersikeras, bahwa gerakan yang mereka lakukan tidak salah, dan dibenarkan oleh hukum.

             Para tokoh Ahmadiyah merasa kuat dan percaya diri, karena mendapatkan dukungan dari golongan agama-agama lainnya, kalangan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), pemerintah Barat, sehingga menyebabkan mereka semakin bersikukuh dengan gerakannya. Mereka tidak lagi memperhatikan pendapat para pemimpin Islam dan para ulama, dan terus melakukan aktivitas dan mengembangkan gerakan Ahmadiyah.
Seandainya Presiden SBY mengeluarkan keputusan melarang gerakan Ahmadiyah, sesungguhnya tidak akan ada konflik antara golongan Islam dengan Ahmadiyah.
Presiden SBY mempunyai diskresi (kewenangan) untuk mengambil tindakan dan keputusan. Tidak akan pernah ada konflik antara golongan Islam dengan Ahmadiyah, jika pemerintah mau bertindak tegas, tidak ragu-ragu, menghadapi gerakan Ahmadiyah. Para pemimpin Islam, ulama dan ormas-ormas Islam sudah memberikan pendapat, pandangan, dan masukkan, dan keputusan ada di tangan pemerintah.
Justru membiarkan Ahmadiyah tetap ada, dan tidak melarangnya, sama dengan pemerintah mendorong adanya konflik terbuka antara golongan Islam dan Ahmadiyah.

          agama bukan lagi merupakan rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, melainkan telah menjadi bencana, seperti kata Kimley. Sumber pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman. Misalnya, Islam menyebut umat yang bukan Islam sebagai kafir dan begitu juga dengan Nasrani yang mendoktrin neraka adalah imbalan bagi mereka yang meninggalkan agama Nasrani. Memang, berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik, misalnya di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Maluku. Dalam kasus itu, agama hanyalah sumber legitimasi yang dimanfaatkan demi kepentingan politik ataupun ekonomi. Sedangkan di lingkup internasional ada konflik antara Israel dan Palestina yang juga memiliki latar belakang serupa.

          Tapi mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Sebab, agama itu mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar serta dibantu Tuhan masing-masing. Fanatisme yang meledak-ledak ini sunggah tidak baik jika ada dalam negara dengan pluralitas tinggi seperti Indonesia ini. Indonesia sebenarnya harus bisa mengubah fanatisme yang ekstrim itu menjadi nasionalisme tingkat tinggi yang membawa kearah perdamaian dan persatuan. Tapi tidak begitu dengan kenyataan yang ada saat ini. Seakan semuanya terbalik dari apa yang ada dalam pernyataan ini.

          Konlfik yang dilatarbelakangi oleh agama adalah konflik yang paling eksplosif. Konflik kepentingan ekonomi dan politik tersebut selalu dibarengi dengan konflik antarpemeluk agama. Konflik Irlandia Utara disertai dengan konflik antara penganut Katolik dan Kristen, konflik Kashmir juga merupakan konflik Islam-Hindu. Masalah separatisme Thailand Selatan juga dilatarbelakangi perbedaan agama Buddha dan Islam serta masalah yang sama di Filipina telah membawa konflik Islam-Katolik. Di lain pihak, persamaan agama bisa tidak menyelesaikan masalah, misalnya dalam kasus separatisme Kurdi, padahal suku Kurdi ataupun bangsa Turki dan Irak sama-sama muslim. Dalam kasus ini, timbul pertanyaan, lalu apa manfaat persaudaraan karena persamaan agama? Lalu apa yang mereka dapat dari beragama? Apakah ajaran agama mereka menganjurkan berperang?

          Agama secara potensial merupakan sumber konflik dan bencana sepanjang waktu dan di mana saja? Pertama, karena agama menekankan iman yang tidak bisa dikompromikan dan tidak bisa didialogkan. Selanjutnya, kedua iman itu selalu mengklaim kebenaran absolut yang eksklusif. Ketiga, agama terbesar di dunia, Kristen dan Islam, adalah agama dakwah atau evangelis, yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-banyaknya. Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip “tujuan menghalalkan cara” (the end justify the means). Kelima, dalam mencapai tujuan atau mempertahankan diri, agama pada umumnya meminta bantuan kekuasaan dan negara, seperti UU Anti Penodaan Agama. Sehingga politikpun mulai ditunggangi oleh kepentingan golongan (agama) dan bukan lagi kebijakan politik yang berpihak pada rakyat secara keseluruhan.

          Tidak lain yang juga membuat perseteruan agama abadi hingga saat ini ialah cara pandang dari masing-masing pemeluk agama. Menurut Nurcholish sikap inklusif memandang agama-agama lain sebagai bentuk implist dari agamanya sedangkan sikap eksklusif memandang agama-agama lain sebagai jalan yg salah yg menyesatkan bagi pengikutnya. Ternyata sikap toleransi yang telah diajarkan guru PPKn [Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan] sejak kita SD sampai SMA dan bahkan dibangku kuliahpun masih diberikan

          Agama sebuah keyakinan. Bukan barang mainan. Setiap orang bersedia melakukan apa saja, demi keyakinan agama. Inilah yang harus diperhatikan oleh semua golongan, agar tidak bertindak sewenang-wenang. Karena hanya akan menyulut perang antara agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar